Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

19 Desember 2011

Tentang Tujuh Golongan yang Mendapat Perlindungan Allah di Hari Akhir

Ustadz Muhammad Arifin Ilham

Hudzaifah.org - Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saudara saudariku yang kucintai. Kali ini kita membahas tujuh golongan manusia yang dimuliakan oleh Allah di hari akhirat kelak.

Ikhwah fillah rahimakumullah, simaklah hadits Rasulullah SAW, hadits mutafaqun'alaih, shahih Bukhari Muslim:

Dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Ada tujuh golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah), seseorang yang hatinya bergantung kepada masjid (selalu melakukan shalat berjamaah di dalamnya), dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seseorang yang diajak perempuan berkedudukan dan cantik (untuk bezina), tapi ia mengatakan: "Aku takut kepada Allah", seseorang yang diberikan sedekah kemudian merahasiakannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kanannya, dan seseorang yang berdzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian, lalu meneteskan air mata dari kedua matanya." (HR Bukhari)

Tujuh golongan yang akan mendapat perlindungan dari Allah yang pada hari itu tidak ada perlindungan kecuali hanya perlindungan Allah.

Yang pertama, imamun adil, pemimpin yang adil, hakim yang adil. Subhanallah, terdepan, yang pertama mendapat perlindungan Allah. Dan sungguh negeri Indonesia yang tercinta ini sangat merindukan pemimpin yang adil, hakim yang adil.

Yang kedua, pemuda yang aktif, gesit, dalam ibadah kepada Allah SWT. Aktivitasnya mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.

Yang ketiga, manusia, hamba Allah, yang hatinya senang berada di dalam masjid. Dia betah di masjid. Shalat berjama'ah, ia senang, subuh-subuh ia menegakkan shalat berjamaah. Allahu Akbar, tentu ini hamba Allah yang benar-benar beriman kepada Allah.

Kemudian yang keempat, orang yang bersedakah yang tangan kanannya memberi tapi tangan kirinya tidak tahu. Subhanallah.. Apa ini? Orang yang ikhlash, tidak riya, tidak ujub.

Kemudian yang kelima, orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu karena Allah, berpisah karena Allah.

Yang keenam, sangat sulit ini, pemuda yang dirayu, digoda, oleh wanita cantik yang memiliki kekayaan, lalu ia berkata: "Aku takut kepada Allah". Keinginan maksiatnya ada, tapi rasa takutnya kepada Allah lebih hebat, sehingga ia tidak mau melakukan kemaksiatan. Kita sangat merindukan pemuda, yang memiliki kualitas keimanan yang luar biasa, sehingga ia mampu menahan dari berbagai macam godaan.

Kemudian yang ketujuh, yaitu pemuda, atau hamba Allah, atau orang yang dalam ingatannya kepada Allah, dalam ibadahnya, dalam doanya, dalam dzikirnya, ia menangis. Allahu Akbar, menangis.. Dua tetesan yang dibanggakan Allah di hari kiamat, pertama tetesan darah fii sabilillah, kedua tetesan air mata karena menangis, takut azab Allah, karena merasa bersalah atas segala dosa yang ia lakukan kepada Allah, karena ia sangat mencintai Allah.

Subhanallah.. Inilah golongan yang kelak mendapat pertolongan Allah di hari kiamat kelak.

Subhanakallahumma wabihamdika asyhaduallaailaahailla anta astaghfiruka wa atubuilaik. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. []


Sumber : http://www.hudzaifah.org/Article302.phtml

06 Desember 2011

Orang yang Ikhlas, Orang yang Menyembunyikan Amalannya


Inilah saudaraku yang seharusnya kita ingat ketika melakukan suatu amalan yaitu haruslah ikhlas. Dengan ikhlas-lah suatu amalan sholeh bisa diterima di sisi Allah.
Ketahuilah bahwa amalan puasa adalah rahasia antara hamba dan Rabbnya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits qudsi, “Setiap amalan manusia akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah berfirman (yang artinya): Kecuali amalan puasa. Amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Muslim no. 1151).
Jika kita sudah mengetahui hal ini, maka sudah sepatutnya orang yang ikhlas berusaha untuk menyembunyikan amalan puasanya dengan berbagai cara sehingga orang lain tidak mengetahuinya.

Lihatlah saudaraku apa yang dilakukan oleh orang sholeh terdahulu. Ketika berpuasa, mereka meminyaki jenggotnya, membasahi bibirnya sehingga orang-orang mengira bahwa mereka tidak berpuasa. Artinya mereka ingin menjaga keikhlasan dengan menyembunyikan amalannya.

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah di pagi harinya dia menyisir rambutnya, lalu meminyakinya. Hendaklah pula tangan kirinya tidak mengetahui sedekah dari tangan kanannya. Hendaklah pula dia mengerjakan shalat-shalat sunnah di rumahnya.”

Abu Tiyah juga mengatakan, “Aku mendapati ayah dan kakekku yang masih hidup. Jika berpuasa, di antara mereka ada yang memakai minyak dan mengenakan pakaian yang indah.”

Begitu pula sebagian ulama salaf dulu ada yang sudah berpuasa selama 40 tahun. Tidak ada seorang pun mengetahui amalan puasa mereka.

Seorang salaf ini memiki toko di pasar. Setiap harinya, dia membawa 2 roti dari rumahnya. Lalu dia keluar dari rumahnya menuju tokonya di pasar. Di tengah perjalanan, dia menyedekahkan 2 roti tadi. Anggota keluarganya mengira bahwa roti tadi untuk dia makan di tokonya. Sedangkan orang-orang yang berada di pasar mengira bahwa makanan tadi akan dimakan di rumahnya. Padahal salaf ini sedang puasa. Itulah strateginya untuk menyembunyikan amalan puasanya. Dan sangat jauh sikap kita dalam menyembunyikan amalan dibanding dengan para salaf dahulu.

Orang yang berusaha menyembunyikan amalan puasa seperti inilah yang bau mulutnya lebih harum dari minyak misk di sisi Allah. Bau seperti ini akan terasa di dalam hati dan bau arwah yang sangat harum ini akan dihirup dan akan nampak setelah kematian dan di hari kiamat nanti.

Oleh karena itu, Abdullah bin Gholib ketika dikubur, terasa semerbak bau kuburnya seperti bau minyak misk. Itulah bau yang begitu harum karena tilawah Al Qur’an dan menahan lapar ketika puasa. Sebagaimana terdapat dalam hadits: Orang-orang yang berpuasa akan keluar dari kubur mereka dan bau harum mereka ini dikenali dari amalan puasa mereka. Bau mulut mereka melebihi bau minyak misk.

Semoga Allah memberi kita taufik untuk ikhlas dalam beramal.

Rujukan: Lathoif Ma’arif, Ibnu Rojab



Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Panggang, Gunung Kidul, 10 Muharram 1430 H

05 Desember 2011

Bergegaslah Dalam Kebaikan

Oleh: DR. Amir Faishol Fath
 


 dakwatuna.com – “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Al Abaqarah 148
Dalam ayat ini Allah memerintahkan fastabiqul khahiraat (bersegeralah dalam berbuat baik). Imam An Nawawi dalam kitabnya Riyadhush shalihiin meletakkan bab khusus dengan judul: Babul mubaadarah ilal khairaat wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqbaali ‘alaihi bil jiddi min ghairi taraddud (Bab bersegera dalam melakukan kebaikan, dan dorongan bagi orang-orang yang ingin berbuat baik agar segera melakukannya dengan penuh kesungguhan tanpa ragu sedikitpun). Lalu ayat yang pertama kali disebutkan sebagai dalil adalah ayat di atas. Perhatikan betapa Imam An Nawawi telah memahmi ayat tersebut sebegai berikut:

Pertama, bahwa melakukan kebaikan adalah hal yang tidak bisa ditunda, melainkan harus segera dikerjakan. Sebab kesempatan hidup sangat terbatas. Kematian bisa saja datang secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. Karena itu semasih ada kehidupan, segeralah berbuat baik. Lebih dari itu bahwa kesempatan berbuat baik belum tentu setiap saat kita dapatkan. Karenanya begitu ada kesempatan untuk kebaikan, jangan ditunda-tunda lagi, tetapi segera dikerjakan. Karena itu Allah swt. dalam Al Qur’an selalu menggunakan istilah bersegeralah, seperti fastabiquu atau wa saari’uu yang maksudnya sama, bergegas dengan segera, jangan ditunda-tunda lagi untuk berbuat baik atau memohon ampunan Allah swt. Dalam hadist Rasulullah saw. Juga menggunakan istilah baadiruu maksudnya sama, tidak jauh dari bersegera dan bergegas.

Dalam sebuah buku tentang kisah orang-orang saleh terdahulu diceritakan salah seorang dari mereka berpesan: maa ahbabta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat if’alhul yaum. Wamaa karihta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat utrukul yaum (apa yang kau suka untuk dibawa ke akhirat kerjakan sekarang juga. Dan apa yang kau suka untuk kau tidak suka untuk di bawa ke akhirat tinggalkan sekarang juga). Ini menggambarkan sebuah sikap kesigapan dalam memilah dan memilih perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Tentu secara fitrah tidak ada manusia yang suka membawa dosa-dosa ke akhirat, kecuali orang-orang yang sudah mati hatinya. Karena itu makna fastabiquu pada ayat di atas memang benar-benar sangat penting -kalau tidak mau dikatakan sebuah keniscayaan- untuk selalu kita amalkan.

Kedua, bahwa untuk berbuat baik hendaknya selalu saling mendorong dan saling tolong menolang. Imam An Nawawi mengatakan: wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqabaal ‘alaihi. Ini menunjukkan bahwa kita harus membangun lingkungan yang baik. Lingkungan yang membuat kita terdorong untuk kebaikan. Karena itu dalam hadits yang menceritakan seorang pembunuh seratus orang lalu ia ingin bertaubat, disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan taubat tersebut disyaratkan akan ia meninggalkan lingkungannya yang buruk. Sebab tidak sedikit memang seorang yang tadinya baik menjadi rusak karena lingkungan. Karena itu Imam An Nawawi menggunakan al hatstsu yang artinya saling mendukung dan memotivasi. Sebab dari lingkungan yang saling mendukung kebaikan akan tercipta kebiasaan berbuat baik secara istiqamah.

Lebih dalam jika kita renungkan makna ayat fastabiquu kita akan menemukan makna bahwa di mana kita memang harus menciptakan lingkungan. Sebab dalam kata tersebut terkandung makna “berlombalah”. Dalam perlombaan tidak mungkin sendirian, melainkan harus lebih dari satu atau lebih. Maka jika semua orang berlomba dalam kebaikan, otomatis akan tercipta lingkungan yang baik. Karena dalam ayat yang lain Allah swt. berfirman dalam surah Ali Imran,133: wasaari’uu ilaa maghfiratin mirrabbikum di sini Allah swt. menggunakan kalimat wa saari’uu diambil dari kata saa ra’a- yusaa ri’u maksudnya tidak sendirian, melainkan ada orang lain yang juga ikut bergegas. Seperti dhaaraba-yudhaaribu artinya saling memukul. Dalam makna ini tergambar keharusan adanya lingkungan di mana sejumlah orang saling bergegas untuk berbuat baik. Bagitu juga dalam surah Al Hadid, 21, Allah berfirman: saabiquu ilaa maghfiratin mirr rabbikum, kata saabiquu mengandung makna saling berlombalah. Suatu indikasi bahwa menciptakan lingkungan yang baik adalah sebuah keniscayaan.

Langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang baik ini adalah dengan memulai dari diri sendiri dan keluarga. Allah swt. berfirman: quu anfusakum wa ahliikum naaraa. Perhatikan dalam ayat ini, Allah swt hanya focus kepada diri sendisi dan keluarga dan tidak melebar kepada masyarakat luas dan Negara. Mengapa? Sebab inilah jalan terbaik dan praktis untuk memperbaiki sebuah bangsa. Kita harus memulai dari diri sendiri dan keluarga. Sebuah bangsa apapun hebatnya secara teknologi, tidak akan pernah bisa tegak dengan kokoh bila pribadi dan keluarga yang ada di lamanya sangat rapuh.

Ketiga, bahwa kesigapan melakukan kebaikan harus didukung dengan kesungguhan yang dalam. Imam An Nawawi mengatakan: bil jiddi min ghairi taraddud . Kalimat ini menunjukkan bahwa tidak mungkin kebaikan dicapai oleh seseorang yang setengah hati dalam mengerjakannya. Rasulullah saw. bersabda: baadiruu fil a’maali fitanan ka qitha’il lailill mudzlim, yushbihur rajulu mu’minan wa yumsii kaafiran, ,wa yumsii mu’minan wa yushbihu kaafiran, yabi’u diinahu bi ‘aradhin minad dunyaa (HR. Muslim). Dalam hadits ini Rasulullah saw. mendorong agar segera beramal sebelum datangnya fitnah, di mana ketika fitnah itu tiba, seseorang tidak akan pernah bisa berbuat baik. Sebab boleh jadi pada saat itu seseorang dipagi harinya masih beriman, tetapi pada sore harinya tiba-tiba menjadi kafir. Atau sebaliknya pada sore harinya masih beriman tetapi pada pagi harinya tiba-tiba menjadi kafir. Agama pada hari itu benar-benar tidak ada harganya, mereka menjual agama hanya dengan sepeser dunia.

Uqbah bin Harits ra. pernah suatu hari bercerita: “Aku shalat Ashar di Madinah di belakang Rasulullah saw. kok tiba-tiba selesai shalat Rasulullah segera keluar melangkahi barisan shaf para sahabat dan menuju kamar salah seorang istrinya. Para sahabat kaget melihat tergesa-gesanya Rasulullah. Lalu Rasulullah keluar, dan kaget ketika melihat para sahabatnya memandangnya penuh keheranan. Rasulullah saw. lalu bersabda: Aku teringat ada sekeping emas dalam kamar, dan aku tidak suka kalau emas tersebut masih bersamaku. Maka aku segera perintahkan untuk dibagikan kepada yang berhak (HR. Bukhari).

Dalam perang Uhud, kesigapan untuk berbuat baik seperti yang dicontohkan Rasulullah barusan, nampak sekali di tengah sahabat-sahabatnya. Jabir bin Abdillah meriwayatkan bahwa pernah salah seorang bertanya kepada Rasulullah saw.: Wahai Rasul, apa yang akan aku dapatkan jika aku terbunuh dalam peperangan ini? Rasulullah menjawab: Kau pasti dapat surga. Seketika orang tersebut melepaskan kurma yang masih di tangannya, lalu berangkat ke tengah medan tempur dengan tanpa ragu, lalu ia berperang sampai terbunuh. (HR. Bukhari-Muslim). Subhanallah, sebuah kenyataan dalam sejarah, di mana umat Islam harus memiliki kwalitas seperti ini. Wallahu a’lam bishshawab.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/bergegaslah-dalam-kebaikan/