Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

24 Januari 2012

Sholat Menghapus Dosa Masa Lalu

Ajaran Islam menempatkan sholat lima waktu sebagai sebuah ibadah mahdhoh (ritual) yang memiliki keistimewaan. Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam menerima perintah sholat lima waktu dari Allah subhaanahu wa ta’aala dengan cara yang juga sangat istimewa. Allah ta’aala memperjalankan hambaNya dalam suatu malam menempuh horizontal journey from earh to earth dari masjid Al-Haram di Makkah ke Masjid Al-Aqsho di Baitul Maqdis (Jerusalem). Selanjutnya Allah ta’aala perjalankan hambaNya dalam suatu vertical journey from earth to the heavens in the sky dari Masjid Al-Aqsho di Baitul Maqdis bertemu langsung dengan Allah ta’aala di langit tertinggi. Lalu pada saat beraudiensi langsung dengan Allah ’Azza wa Jalla itulah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menerima perintah menegakkan sholat lima waktu setiap hari.

Sholat merupakan bentuk formal dzikrullah atau mengingat Allah ta’aala. Bagi seorang muslim betapapun banyaknya lisannya berzikir dalam pengertian ber-wirid setiap harinya, namun bila ia tidak menegakkan sholat berarti ia meninggalkan secara sengaja kewajiban mengingat Allah ta’aala secara resmi sebagaimana diperintahkan Allah ta’aala dan sesuai contoh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam . Sholat adalah bukti kepatuhan dan loyalitas hamba kepada Rabbnya. Sholat lima waktu merupakan indikator seorang hamba masih connect dengan Pencipta, Pemilik, Pemelihara alam semesta. Bila seorang manusia tidak sholat lima waktu secara disiplin setiap hari berarti ia merupakan hamba yang disconnected (terputus) dari rahmat Allah ta’aala. Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa seseorang bakal celaka walaupun ia sholat. Sebab ia lalai menjalankan sholatnya sehingga tidak selalu disiplin lima waktu setiap harinya.

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

”Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS Al-Maa’uun ayat 4-5)

Di antara alasan utama seorang muslim lalai menegakkan sholat lima waktu setiap hari -apalagi berjama’ah di masjid- adalah karena dihinggapi penyakit malas beribadah. Padahal kemalasan beribadah -khususnya sholat lima waktu- langsung mengindikasikan kelemahan komitmen dan kepatuhan muslim kepada Allah ta’aala. Bahkan sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan bahwa di zaman para sahabat radhiyallahu ’anhum hidup bersama Nabi shollallahu ’alaih wa sallam jika ada muslm yang tidak sholat berjama’ah di masjid berarti ia diasumsikan sebagai seorang munafik yang sudah jelas kemunafikannya.

Maka dalam rangka mengikis penyakit malas beribadah seorang Muslim perlu juga memahami apa manfaat sholat lima waktu setiap hari. Di antaranya ialah dihapuskannya dosa-dosa oleh Allah ta’aala. Subhaanallah...! Bayangkan, setiap seorang muslim selesai mengerjakan sholat yang lima waktu berarti ia baru saja membersihkan dirinya dari tumpukan dosa yang sadar tidak sadar telah dikerjakannya antara sholat yang baru ia kerjakan dengan sholat terakhir yang ia ia kerjakan sebelumnya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Sholat lima waktu dan (sholat) Jum’at ke (sholat) Jum’at serta dari Ramadhan ke Ramadhan semua itu menjadi penghabus (dosanya) antara keduanya selama ia tidak terlibat dosa besar.” (HR Muslim 2/23)

Bila seorang muslim memahami dan meyakini kebenaran hadits di atas, niscaya ia tidak akan membiarkan satu kalipun sholat lima waktunya terlewatkan. Bahkan dalam hadits yang lain dikatakan bahwa bila seorang muslim khusyu dalam sholatnya, maka ia akan diampuni segenap dosanya di masa lalu. Subhaanallah...!

مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

“Tidak seorangpun yang bilamana tiba waktu sholat fardhu lalu ia membaguskan wudhunya, khusyu’nya, rukuknya, melainkan sholatnya menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lampau, selagi ia tidak mengerjakan dosa yang besar. Dan yang demikian itu berlaku untuk seterusnya.” (HR Muslim 2/13)

Syaratnya asalkan ia tidak terlibat dalam dosa besar, maka dosa-dosa masa lalunya pasti bakal diampuni Allah ta’aala. Adapun di antara dosa-dosa besar ialah sebagaimana disebutkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, yakni:

ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَبَائِرَ أَوْ سُئِلَ عَنْ الْكَبَائِرِ فَقَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَالَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قَالَ قَوْلُ الزُّورِ أَوْ قَالَ شَهَادَةُ الزُّورِ

Ketika ditanya mengenai dosa-dosa besar Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Mempersekutukan Allah ta’aala, membunuh jiwa serta durhaka kepada kedua orang-tua. Dan maukah kalian kuberitakan mengenai dosa besar yang paling besar? Yaitu kesaksian palsu.” (HR Muslim 1/243)

Untuk menghapus dosa-dosa besar tersebut tidak cukup dengan seseorang menegakkan sholat lima waktu. Ia harus menempuh prosedur taubatan nasuha yang khusus. Maka hindarilah sedapat mungkin terlibat dalam mengerjakan dosa-dosa besar. Dalam bahasa berbeda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengingatkan kita agar menjauhi tujuh penyebab bencana, yaitu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ
وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ
وَأَكْلُ الرِّبَا وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Jauhilah tujuh penyebab bencana.” Para sahabat radhiyallahu ’anhum bertanya: “Apa itu ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah ta’aala, sihir, membunuh jiwa yang Allah ta’aala haramkan membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, memakan harta anak yatim, memakan riba, desersi dari medan jihad serta menuduh wanita mu’minah yang memelihara diri sebagai melakukan perbuatan keji.” (HR Muslim 1/244)

Sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/sholat-menghapus-dosa-masa-lalu.htm

19 Januari 2012

Menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah


وَنَتَّبِعُ السُّـنَّـةَ وَالْجَمَاعَةَ وَنَجْـتَنِبُ الشُّذُوْذَ وَالْخِلاَفَ وَالْفُرْقَةَ
(80) Kami mengikuti Sunnah dan Jamaah; menjauhi syudzudz, khilaf dan furqah.
Dari semua prinsip Ahlussunnah wal Jamaah, inilah prinsip yang paling mendasar. Prinsip untuk mengikuti Sunnah dan Jamaah serta menjauhi syudzudz, khilaf dan furqah. Dengan prinsip ini Ahlussunnah wal Jamaah mengidentifikasi diri dan menegaskan diferensiasi mereka, lalu menyiarkannya kepada seluruh umat manusia. Inilah cara menjadi Ahlussunnah wal Jamaah menurut perspektif Ahlussunnah wal Jamaah.

Mengikuti Sunnah
Bagian pertama dari prinsip ini adalah mengikuti Sunnah. Sunnah artinya jalan. Secara istilah, Sunnah berarti ilmu yang terwariskan dari Nabi SAW; meliputi semua perkara akidah, fikih, akhlak, dan lain-lain. Semua perkara yang ditunjukkan oleh dalil yang shahih, itulah Sunnah yang wajib diikuti. Rasulullah SAW bersabda,
فإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اِخْتِلاَفًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّـينَ مِنْ بَعْدِي، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya, barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku akan melihat banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat). Maka dari itu, hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk sesudahku. Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Waspadalah kalian terhadap perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu di neraka.”
Dengan hadits di atas Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk berpegang kepada sunnah sekaligus melarang kita berbuat bid’ah. Sunnah adalah antonim dari bid’ah. Bid’ah adalah semua keyakinan atau amalan yang dianggap ibadah namun tidak dilandasi dalil, dan berbagai bentuk muamalah yang bertentangan dengan dalil.
Oleh karena cakupan sunnah inilah para ulama menulis kitab-kitab akidah dan diberi judul as-Sunnah, seperti buku karya Abdullah bin Imam Ahmad, al-Khallal, Ibnu Abu ‘Ashim, dan ath-Thabarani.

Melazimi Jamaah
Secara bahasa, jamaah berarti perkumpulan. Secara istilah, jamaah mencakup dua makna: pertama, makna yang sinonim dengan makna Sunnah. Kedua, berkumpulnya seluruh kaum muslimin di bawah kepemimpinan seorang imam. Adapun makna pertama jamaah yang bersinonim dengan Sunnah di antaranya ditunjukkan oleh dalil-dalil berikut ini:
“Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah petunjuk itu jelas baginya dan mengikuti selain jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang beriman, Kami leluasakan ia dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa`: 115)
Ayat di atas memberitahu kita, hukum mengikuti jalan/manhaj para sahabat sewajib hukum mengikuti Rasulullah SAW dan tidak menyelisihinya. Ancamannya sama: tersesat dan siksa Jahannam. Maka, generasi setelah sahabat yang tidak ingin tersesat dan masuk Jahannam senantiasa menjaga diri mereka jangan sampai menyelisihi Rasulullah SAW dan jalan orang-orang yang beriman generasi sebelum mereka.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya dua ahli kitab telah terpecah belah dalam agama mereka menjadi 72 millah. Ummat ini pun akan terpecah belah menjadi 73 millah; yakni (para pengikut) hawa nafsu. Semuanya masuk neraka, kecuali satu: Jamaah.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Mereka yang berpegang teguh kepada) apa yang aku dan para sahabatku berpegang padanya.” (HR. Abu Dawud)
Sungguh, Nabi SAW telah mewariskan kepada jamaah pertama—jamaah para sahabat—ilmu yang bermanfaat, amal, dan petunjuk untuk segala perkara: ilmiah maupun amaliah.
Sedangkan jamaah dengan makna berkumpulnya seluruh kaum muslimin di bawah kepemimpinan seorang imam di antaranya ditunjukkan oleh:
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak disukainya pada pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya tidak seorang pun meninggalkan Jamaah sejengkal lalu ia mati kecuali ia mati (seperti) matinya orang-orang Jahiliyah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hudzaifah bin Yaman pernah bertanya mengenai solusi menghadapi para penyeru ke neraka Jahannam yang menurut kabar Nabi, mereka adalah orang-orang berbahasa dan berbangsa Arab juga. Rasulullah SAW menjawab, “Hendaklah kalian melazimi Jamaatul Muslimin dan imam mereka.” Lantas Hudzaifah bertanya, “Bagaimana jika kaum muslimin tidak memiliki jamaah dan imam?” Rasulullah SAW menjawab, “Tinggalkanlah semua firqah meskipun kamu harus menggigit akar pohon, sampai ajal menjemput hendaklah kamu dalam keadaan itu!” (HR. al-Bukhari)
Dengan ini, Ahlussunnah wal Jamaah adalah mereka yang berpegang teguh kepada manhaj Rasulullah SAW dan as-Salafush Shalih, serta menghindari perpecahan umat bahkan selalu mengupayakan persatuan umat.

Menjauhi Syudzudz
Syudzudz artinya menyelisihi kebanyakan. Yang dimaksud di sini adalah kebanyakan atau Jamaah yang tetap berpijak kepada kebenaran. Sebab, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali terasing. Maka, berbahagialah orang-orang yang terasing.” (HR. Ahmad, Muslim, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Jadi, saat kaum muslimin berpegang kepada kebenaran, tidak seyogianya seorang Ahlussunnah wal Jamaah mengucapkan atau melakukan sesuatu yang tidak biasa mereka ucapkan atau lakukan, apalagi jika tanpa dasar yang benar. Yang demikian itu akan menimbulkan prasangka buruk dan bermuara pada perselisihan, permusuhan, dan perpecahan umat.

Menjauhi Khilaf
Khilaf berbeda dengan ikhtilaf, meskipun sebagian ulama menyamakannya. Ikhtilaf artinya perbedaan pendapat; umumnya terjadi pada perkara ijtihadi. Sedangkan khilaf artinya menyelisihi; umumnya terjadi pada perkara yang disepakati. Baik khilaf maupun ikhtilaf sama-sama ada pada perkara akidah maupun fikih.
Khilaf dalam masalah apa pun dilarang, sedangkan ikhtilaf diperbolehkan meskipun tidak selamanya. Apabila ikhtilaf berakibat mafsadat di kalangan umat dan berpotensi memicu perpecahan tidak diperbolehkan. Ada teladan yang baik dalam hal ini dari sahabat Abdullah bin Mas’ud. Saat menunaikan haji, beliau mengerjakan shalat di belakang ‘Utsman sebanyak empat rekaat. Ada yang bertanya, “Bukankah yang sunnah dua rekaat?” Ibnu mas’ud menjawab, “Berselisih itu buruk.”
Ada juga ada perbedaan pendapat yang lain antara beliau dan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan, yakni mengenai santunan yang mesti diambil dari baitulmal untuk beliau. Khalifah ‘Utsman mengelirukan pendapat Ibnu Mas’ud. Maka, Ibnu Mas’ud mendahulukan keputusan ‘Utsman seraya berkata, “Berselisih itu buruk.”

Menjauhi Furqah
Furqah adalah kebalikan dari jamaah, artinya berpecah belah. Larangan berfurqah ditegaskan oleh Allah ddalam firman-Nya,
“Berpegang teguhlah kalian semua pada tali Allah dan janganlah berpecah belah.” (QS. Ali Imran: 103)
Sebagaimana berjamaah meliputi dua aspek: manhaj dan fisik, furqah pun demikian. Ada furqah manhaj dan ada pula furqah fisik.
Furqah manhaj artinya menyelisihi manhaj dan akidah Ahlussunnah wal Jamaah serta meninggalkan jalan yang telah ditempuh oleh generasi Salaf; sedangkan furqah fisik artinya memecah belah kaum muslimin atau tidak berupaya untuk menyatukan mereka dalam kebenaran.
Demikianlah cara menjadi Ahlussunnah wal Jamaah menurut Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana dijelaskan oleh Abu Jakfar ath-Thahawi.
Perkara akidah, ada yang bersifat maqashid (tujuan), ada yang wasail (sarana), dan ada pula yang berfungsi menjaga maqashid. Contoh maqashid adalah rukun iman yang enam, contoh wasail adalah kaidah-kaidah umum dalam talaqqi dan berilmu, contoh yang berfungsi menjaga maqashid adalah dalil-dalil yang shahih. Matan ke-80 ini termasuk perkara yang memiliki dua sifat tersebut. Di satu sisi ia adalah maqashid, namun di sisi yang lain ia termasuk wasail. Wallahu a’lam.

Sumber : http://www.arrisalah.net/kolom/2011/08/menjadi-ahlussunnah-wal-jamaah.html

11 Januari 2012

Nanti Saya Akan Sedekah...Pak Kyai....

Rabu, 11 Januari 2012

Malam itu di sebuah pesantren yatim-piatu Jawa Timur datanglah seorang pengusaha bersilaturahmi ke kyai pengasuh pesantren. Ada sebuah hajat milik pengusaha yang ingin dibagi dengan pak kyai. Maka, berlangsunglah pembicaraan antara keduanya.

"Pak kyai, saya datang ke sini mau minta doa agar hajat saya dikabul oleh Allah SWT." ujar si pengusaha.
"Memangnya saudara sedang punya hajat apa?" tanya pak kyai ringan.

"Begini pak kyai..., saya ini punya usaha di bidang migas. Saya sedang ikut tender di Caltex Riau (sekarang perusahaan ini bernama Chevron). Doakan agar saya bisa menang tender...!" jelas si pengusaha.

"Mmmmm...." pak kyai hanya bergumam tanpa sedikit pun memberi tanggapan.

Entah apa gerangan, mungkin untuk meyakinkan pak kyai tiba-tiba si pengusaha menambahkan, "tolong doakan saya dalam tender ini pak Kyai, insya Allah andai saya menang tender, pasti saya akan bersedekah ke pesantren ini!"
Dahi pak kyai berkernyit mendengarnya. Raut muka beliau terlihat seperti agak tersinggung dengan pernyataan si pengusaha.

Menanggapi pernyataan si pengusaha, pak Kyai yang asli Madura bertanya, "Sampeyan hapal surat Al-Fatihah...?!" Si pengusaha menjawab bahwa ia hapal.

"Tolong bacakan surat Al-Fatihah itu!" pinta kyai.

"Memangnya ada apa pak kyai, kok tiba-tiba ingin mendengar saya baca Al-Fatihah?!" tanya si pengusaha."
"Sudah baca saja... saya mau dengar!" tukas kyai.

Maka sang pengusaha itu pun mulai membaca surat pertama Alquran.

"Bismillahirrahmanirrahim...Alhamdulillahi rabbil alamiin...Ar rahmaanir rahiim... Maliki yaumiddiin... Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin..."

"Sudah-sudah cukup..., Berhenti sampai di situ!" pinta pak kyai.

Si pengusaha pun menghentikan bacaan.

"Ayat yang terakhir sampeyan baca itu mengerti tidak maksudnya?!" tanya pak kyai.

"Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin..., pak Kyai?" tanya si pengusaha menegaskan.

"Ya, yang itu!" jawab kyai.

"Oh itu saya sudah tahu artinya... kepada-Mu ya Allah kami mengabdi... kepada-Mu ya Allah kami memohon pertolongan!" tandas si pengusaha.

Pak kyai lalu berujar enteng, "Oh, rupanya masih sama Al-Fatihah sampeyan dengan saya punya!"

Si pengusaha memperlihatkan raut kebingungan di wajahnya. "Maksud pak kyai...?!" tanya si pengusaha heran.

"Saya kira Al-Fatihah sampeyan sudah terbalik menjadi iyyaka nasta'iin wa iyyaka na'budu!" jawab pak kyai.

Si pengusaha malah bertambah bingung mendengar penjelasan pak kyai, ia pun berkata, "Saya masih belum mengerti pak Kyai!"

Pak kyai tersenyum melihat kebingungan sang pengusaha, beliau pun menjelaskan, "tadi sampeyan bilang kalau menang tender maka sampeyan akan sedekah ke pesantren ini. Menurut saya itu mah iyyaka nasta'iin wa iyyaka na'budu. Kalau Al-Fatihah sampeyan gak terbalik, pasti sampeyan sedekah dulu ke pesantren ini, insya Allah pasti menang tender!"

Deggg! Keras sekali smash sindiran menghujam jantung hati si pengusaha.

***
Ba'da dzuhur esok harinya, hape pak kyai berdering. Rupanya pengusaha tadi malam.

"Mohon dicek pak kyai, saya barusan sudah transfer ke rekening pesantren," kata si pengusaha, sambil pamit lalu menutup telepon.

Sejurus kemudian pak kyai pergi ke bank membawa buku tabungan.

Usai dicetak lalu dicek, matanya terbelalak melihat angka 2 dan deretan angka 0 yang amat panjang. Hingga pak kyai merasa sulit memastikan jumlah uang yang ditransfer.

Pak kyai pun bertanya kepada teller bank, "Mbak, tolong bantu saya berapa dana yang ditransfer ke rekening saya ini?"

Sang teller menjawab, "Ini nilainya 200 juta, pak kyai!"

Pak kyai pun sumringah. Berulang kali ucapan hamdalah terdengar dari lisannya.

Malamnya lepas maghrib, pak kyai mengumpulkan seluruh ustadz dan santri di pesantren yatim itu.

Mereka membaca Alquran, dzikir & doa yang panjang untuk hajat yang ingin dicapai oleh sang pengusaha.

Arsy Allah SWT malam itu mungkin bergetar. Pintu-pintu langit mungkin terbuka, sebab doa yang dipanjatkan oleh pak kyai & para santri yatim.

Seminggu berselang sang pengusaha menelpon pak kyai.

"Pak kyai, saya ingin mengucapkan terima kasih atas doanya tempo hari. Alhamdulillah, baru saja saya mendapat kabar bahwa perusahaan saya menang tender dengan nilai proyek yang cukup besar!!!"

Mendengar itu, pak kyai turut bersyukur kepada Allah SWT. Ia lalu bertanya, "berapa nilai tender yang didapat?!"
"Alhamdulillah, nilainya Rp 9,8 milyar!" jawab si pengusaha.

Subhanallah, sebegitu cepat & besar balasan Allah yang diterima pengusaha itu.

Sumber :  http://www.alhikmahonline.com/content/view/602/6/