Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

28 Juli 2011

Sambut Ramadhan

Ibadah,Mimbar Jum'at | Kamis,28 Juli 2011
Marhaban ya ramadhanSuatu kali dua bulan menjelang bulan Ramadhan Rasulullah berdo’a, “Ya Allah limpahkan keberkahan atas diriku di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah (usiaku) ke bulan Ramadhan“.
Dari do’a Beliau yang singkat namun sarat makna ini, kita bisa menangkap bahwa, betapa Rasulullah Saw sangat mendambakan bulan Ramadhan, meski masih dua bulan lagi (yaitu sejak bulan Rajab kemudian Sya’ban) menjelang Ramadhan, Beliau sudah bermohon kepada Allah S WT untuk disampaikan usianya kepada bulan Ramadhan.
Hasrat Rasulullah Saw yang demikian mendalam terhadap bulan Ramadhan, kiranya membuat kita bertanya-tanya, merenungi mengapa Rasulullah Saw sangat mendambakan bulan Ramadhan?
Jika, kita membaca berbagai bukti yang berkenaan dengan Ramadhan, betapa kita akan mendapatkan penjelasan tentang keutamaan-keutamaan bulan suci Ramadhan diantaranya sabda Rasulullah Saw yang sangat populer “Bila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu (neraka) Jahannam ditutup” (HR. Bukhari).
Saking banyaknya kebaikan yang terdapat pada bulan Ramadhan, Rasulullah Saw menyatakan pintu neraka ditutup pada bulan ini, dan pintu surga dibuka selebar-lebarnya.
Dalam sabdanya yang lain Rasulullah Saw menyampaikan, “Barang siapa yang bangun (melaksanakan berbagai aktifitas ibadah) pada bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap balasan pahala dari Allah SWT, maka diampunkan dosanya yang telah lalu” (HR. An-Nasa’i).
Tidak tanggung-tanggung balasan yang diberikan Allah SWT kepada orang-orang yang melakukan berbagai aktifitas ibadah di bulan Ramadhan, yaitu, diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu.
Bagaimana menurut kita (anda)? Kalau seseorang sudah mendapat ampunan dari Allah SWT, mungkinkah dia akan masuk ke dalam neraka dan menjalani bermacam-macam siksa di sana?. Tentu tidak, pintu nereka tertutup baginya, sementara pintu surga dan berbagai kenikmatan terbuka lebar baginya.
Belum lagi anugerah malam Lailatul Qadar yang menurut beberapa riwayat turun pada malam 10 terakhir bulan Ramadhan, yang mana jika seseorang melakukan suatu amal shaleh yang diniatkan ibadah kepada Allah SWT pada malam tersebut, maka ganjaran yang didapatnya jauh lebih besar dan lebih baik daripada beramal shaleh selama 1000 bulan (alfu syhariri) yang tidak ada Lailatul Qadarnya, yaitu sekitar 83 tahun 4 bulan.
Bagaimana menurut kita (anda) tentang balasan lebih baik dari 1000 bulan. Agaknya, jarang ada orang yang usianya mencapai 1000 bulan (+/- 83 tahun), apalagi zaman sekarang ini, penyakit sungguh banyak macamnya, terkadang baru berusia 40 tahun saja seseorang sudah menderita berbagai penyakit, seperti asam uratlah, rematik, kencing manislah, kolestrol berlebih, macam-macam. Artinya bahwa ganjaran lebih baik dari beramal selama 83 tahun itu melampaui usia normal manusia yang rata-rata berkisar 60 – 70 tahun.
Sungguh luar biasa keutamaan bulan Ramadhan, tapi, apakah hitung-hitungan yang berlipat ganda itu yang menjadi dorongan kuat kita untuk melakukan ibadah semaksimal mungkin pada bulan Ramadhan?, ya, kalau ada yang motivasinya itu, tidak mengapa. Tapi apakah semata-mata itu?
Dari dua hadits Rasulullah Saw yang disampaikan di atas, kiranya ada pesan yang ingin lebih ditekankan kepada kita bahwa, Allah SWT itu sangat dekat dengan hamba-Nya.
Lewat keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan ini Dia menyampaikan pesan kepada hamba-Nya bahwa Dia menghampiri hamba-Nya dengan segenap kasih sayang-Nya. Membuka selebar-lebarnya pintu ampunan, melipat gandakan balasan semua amal baik pada bulan ini, agar kelak semua hamba-hamba-Nya bisa menjadi penghuni surga.
Dalam firman-Nya yang disampaikan Rasulullah Saw dengan redaksi bahasanya (hadits Qudsi), “Ibadah puasa itu untuk-Ku, dan Aku (langsung)  yang menentukan balasannya“. (HR, Bukhari).
Adakah amal ibadah yang lain yang dinyatakan oleh Allah SWT, Dia terlibat secara langsung menentukan balasannya seperti ibadah puasa? Ini penegasan bahwa Allah SWT sangat dekat dengan hamba-Nya ketika ia sedang berpuasa. Maka dari itu, dalam sebuah hadits Rasulullah Saw dikatakan bahwa, do’ a orang yang berpuasa termasuk salah satu yang dikabulkan (tidak ditolak) oleh Allah.
Ketika Allah SWT menghampiri hamba-Nya dengan segenap limpahan rahmat-Nya, layakkah selaku hamba yang diciptakan oleh-Nya, kita justru menjauh dari-Nya, mengacuhkan-Nya?, menyiakan-nyiakan kesempatan di bulan Ramadhan.
Dapat kita (anda) gambarkan, ketika kita senantiasa dekat dengan anak kita, memberinya segenap kasih sayang dan perhatian, namun, suatu kali di hari ulang tahunnya, kita ingin lebih dekat dengannya, mencurahkan segenap kasih sayang kita dan memenuhi permintaannya, ia justru menjauh dari kita?, apa yang kita (anda)  rasakan?
Allah SWT berfirman, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat“. (QS.Al-Baqarah [2]: 186).
Sumber : Buletin Mimbar Jum’at, No 34 Th. XXII  -  29 Agustus 2008

27 Juli 2011

Hargailah istrimu dan para akhwat ya ikhwan…

Entah kenapa,, yang banyak ana temui pada saat ini, yaitu persoalan hubungan antara ikhwan dan akhwat di Facebook..saking prihatinnya..ana memberanikan diri untuk menulis ini supaya menjadi pelajaran buat ana khususnya..
Internet ini terkadang bahaya juga kalo kita tidak benar2 bisa menempatkan diri. Kita di FB(facebook) ini dapat berhubungan dengan saudara saudara kita sejenis maupun lawan jenis. Jujur..ana banyak mendapatkan teman2 ikhwan yg Alhamdulillah mereka ramah2..ana senang dapat menyambung tali silaturrahmi dengan mereka..yang jadi persoalan disini yaitu berhubungannya antara ikhwan dan akhwat ..
Kalo kita mau jujur.. nyoba tanyakan pada diri kita dan kita lihat di sekitar kita..bagaimana hubungan atau interaksi para ikhwan dan akhwat sekarang..???
insyAllah kita tau jawabannya..
Lebih baik dan patut bagi kita itu untuk berhati hati dalam berhubungan dengan lewan jenis, jika ada keperluan dalam perbincangan tersebut tidaklah mengapa..atau kah dalam perbincangan tersebut ada manfaat yg dapat di ambil..maka ini lebih baik,, dari pada berbincang masalah masalah yg tidak penting yang malah akan menimbulkan banyak kerugian atau bahkan penyakit hati..
Udah perbincangannya tidak penting..dan setiap hari pula…wah ini parah ..
Bukannya meniadakan hubungan sama sekali..tapi ahsan..jika ada keperluan yg di bolehkan aja,,
karena para shohabiah dulu juga berinteraksi bukan tidak berinteraksi sama sekali,,wollohua'lam..

Berbicara berinteraksi .. kelihatannya sekarang marak yg namanya ta'aruf lewat internet..
Entah ini cuman sebagai dalih untuk dapat bisa berinteraksi dengan akhwat atau kah bener2 ta'aruf..ana kurang tau..
Tapi…kebanyakan cara ta'aruf yg telah ana baca dan pelajari kok beda dg cara anak muda sekarang ya..
Kalo yg sekarang yg banyak ana temui yaitu ta'aruf dengan interaksi langsung dengan jalan chating lewat internet dan tidak jarang ngomongin masalah2 yg tidak penting dan setiap hari pula..
Wah…ana g tau dalam hal ini .. apakah yg begini ini di perbolehkan ..??
Ikhwaaan…?? akhwaaat….??? Di perbolehkan kaaah..??

Lebih baik jika memang ingin menikah lewat perantara aja..insyAllah itu lebih aman,,,
Dan berinteraksi langsung seperlunya aja..

Sebenarnya ana itu gak enak hati (malu).. dan kasihan ama akhwat2.. karena,, mereka kebanyakan yg jadi korban..
Hendaklah berhati2..jagalah diri kalian dari berbagai penyakit..ana tidak bilang kalo ikhwan tidak dapat terkena fitnah lo ya..!!!..tapi kebanyakn itu ..akhwat yg mudah timbul penyakit di hatinya..

Awalnya datang seorang ikhwan menyapa.. dan si akhwat meresponnya..
Apalagi jika keadaan si akhwat ini mendorong untuk segera menikah,. Maka si akhwat membuka jalan dengan merespon …dg berpikiran mungkin aja …..?!?!?!?
Lama interaksi terjadi…sampai2 di dalam hati si akhwat timbul suatu rasa yg apabila rasa itu muncul setelah terjalin hubungan tali pernikahan,,Subhanallah.. alangkah bahagianya..
Tapi jika rasa ini timbul sebelum adanya tali pernikahan.. maka rasa ini dapat menjadi virus yang mematikan..

Si ikhwan pun mengutarakan keinginanya untuk menikahi si akhwat..dan ketika si akhwat menyuruhnya untuk melamar ke orang tuanya..
Ternyata Gmn jawaban si ikhwan ini..??
Ana belum bisa nikah sekarang,,ana belum lulus,,kalo belum bekerja orang tua g ngebolehin..!!?? GUBRAAK..!

Astaghfirulloh ..
Ya ikhwan…apakah kalian tau apa yg akan terjadi 2 atau 3 tahun kedepan..
Atau bahkan apa atum tau besok akan terjadi apa pada kita…??!!!
Allah itu amat sangat mudah membolak balikkan hati hambanya,,, 

kalo entar antum nemuin akhwat dan antum ada hati ke dia gmn..??
Kalo misalkan kita di takdirkan meninggal lebih cepat .. 

sementara di hati si akhwat virusnya amatlah sangat ganas..
Atau bahkan ada laki2 yg datang untuk melamar ,,

ia tolak cuman karena di hatinya ada satu ikhwan itu..
Maka apa dengan hal itu banyak faedahnya..?????!!!
Sungguh tidak saudara2ku..kerugian yg besar yg kita dapatkan malah…

Perhatikanlah saudara2ku..khususnya para ikhwan dan ana sendiri tentunya..
Jangan lah bemain2 dalam masalah ini jikalau tidak benar2 telah siap…karena ini bahaya..

Dan para ikhwan2 yg udah menikah.. hargailah istri2 kalian.. jangan mencoba untuk nakal di belakang mereka..
Sampai2 chating dg akhwat lain secara sembunyi2 agar tidak di ketahui istri,,,.Astaghfirulloh..
Seharusnya kita itu banyak bersyukur dengan menghargai istri dg membahagiakannya dan tidak mengecewakannya..
Seharusnya kita bersyukur..telah di beri istri yang kenal sunnah yang taat agamanya…
coba bayangkan jika dapet istri yg tidak kenal sunnah dan bahkan durhaka kepada antum..??
Pikirkan ya ikhwaan..


Ana pernah bertanya pada ikhwan…
knp antun chat ama akhwat itu..?? ada keperluan kah..??
tidak..!!
kemudian apa selanjutnya jawabnya..
akhwat nya cantik2 ya…!!

Astaghfirulloh…
Sebenarnya denger itu hati ana mangkel…

Ikhwan yang udah lama ngaji…
Mengeluarkan jawaban seperti itu…
apa bgtu seharusnya seorang ikhwan yg sudah kenal sunnah…??

Sembunyi2 chating dg akhwat lain di belakang istrinya..
Na'udzubillah..

Dia berkata …ana pengen istri kedua..!!?
Memang… meskipun keridhaan istri Tidak Menjadi Syarat Di Dalam Pernikahan Kedua..
Apakah tidak lebih baik jika kita rembukan dulu dg istri,,
Dan jika istri menyutujui..apakah tidak lebih tenang dan bahagia..??


Akan saya haturkan tentang masalah poligami setelah pesan ini insyAllah…

Mudah2an Allah selalu menuntun kita dan menancapkan iman kepada hati kita..Amiin..

Dan patut di perhatikan kpd para akhwat…
Anti lihat kan… gara2 apa ikhwan itu bgtu..
Gara2..atau karena melihat foto akhwat..
Lihat catatan ana tentang foto..!!!!baca ya…

Berusahalah untuk menjaga diri kalian…
Allah memuliakan kalian dg mensyariatkan para akhwat untuk mengenakan hijab..supaya tidak menjadi fitnah..
Bukan malah berpose dg memasang foto di profil utama,,,

Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua..
Afwan kalo ada perkataan yg tidak berkenan..
Ana ini lemah…mari kita belajar bersama dalam mempelajari agama ini..
Semoga Allah selalu mencurahkan ilmunya kepada kita..Amiin..
Wollohua'lam…


sumber : http://anabelajarnulis.blogspot.com

22 Juli 2011

Persiapan Menyambut puasa Ramadhan Bulan Penuh Berkah

Persiapan Menyambut puasa Ramadhan Bulan Penuh Berkah dan ampunan. Ramadhan merupakan bulan penuh berkah, bulan yang penuh berkah dari berbagai sisi kebaikan. Sebab itu, umat Islam hendaklah mengambil keberkahan Ramadhan dari berbagai aktifitas positip dan bisa memajukan Islam dan pemeluk Islam. Meliputi dari sisi ekonomi, sosial, peradaban, budaya, dan pemberdayaan umat manusia. Namun demikian semua kegiatan yang positip itu tidak harus mengganggu kekhusuan dalam ibadah ramadhan terutama di sepuluh hari terakhir puasa bulan Ramadhan. Rasulullah SAW. menjadikan bulan puasa ramadhan sebagai bulan yang penuh aktivitas dan amaliah positif. Selain yang telah dijelaskan seperti tersebut di atas, beliau juga aktip melakukan aktifitas sosial kemasyarakatan.
Persiapan Mental
Persiapan mental untuk menjalankan ibadah puasa dan ibadah terkait lainnya sangatlah penting. Apalagi pada menjelang 10 hari hari terakhir, karena ajakan keluarga yang menginginkan belanja mempersiapkan hari raya Idul Fitri, pulang kampung, beli pakaian dll, sangat mempengaruhi umat Islam dalam menunaikan kekhusuan ibadah puasa Ramadhan. Kesuksesan ibadah bulan Ramadhan seorang muslim bisa dilihat dari akhirnya. Jika akhir bulan Ramadhan diisi dengan i’tikaf dan taqarrub yang lainnya, maka insya Allah dia termasuk yg berhasil dan sukses dalam menjalankan ibadah Ramadhan.
Persiapan ruhiyah (spiritual)
Persiapan ruhiyah dapat dilaksanakan dengan meningkatkan ibadah, seperti memperbanyak membaca AlQuran saum sunnah, berdzikir, berdo’a dll. Dalam hal mempersiapkan ruhiyah, Rasulullah SAW. memberi contoh kepada umatnya yaitu dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA. berkata:” Saya tidak melihat Rasulullah SAW. menyempurnakan puasanya, kecuali pada bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR Muslim).
Persiapan fikriyah
Persiapan fikriyah atau akal dilakukan dengan mendalami ilmu, khususnya ilmu yang terkait dengan ibadah Ramadhan. Banyak orang yang berpuasa tidak menghasilan kecuali lapar dan dahaga. Hal ini dilakukan karena puasanya tidak dilandasi dengan ilmu yang cukup. Seorang yang beramal tanpa ilmu, maka tidak menghasilkan kecuali kesia-siaan belaka.
Persiapan Fisik dan Materi
Seorang muslim tidak akan mampu atau berbuat maksimal dalam berpuasa jika fisiknya sakit. Oleh karena itu mereka dituntut untuk menjaga kesehatan fisik, kebersihan rumah, masjid dan lingkungan. Rasulullah mencontohkan kepada umat agar selama berpuasa tetap memperhatikan kesehatan. Hal ini terlihat dari beberapa peristiwa di bawah ini :
• Menyikat gigi dengan siwak (HR. Bukhori dan Abu Daud).
• Berobat seperti dengan berbekam (Al-Hijamah) seperti yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim.
• Memperhatikan penampilan, seperti pernah diwasiatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah ibnu Mas’ud ra, agar memulai puasa dengan penampilan baik dan tidak dengan wajah yang cemberut. (HR. Al-Haitsami).
Sarana penunjang yang lain yang harus disiapkan adalah materi yang halal untuk bekal ibadah Ramadhan. Idealnya seorang muslim telah menabung selama 11 bulan sebagai bekal ibadah Ramadhan. Sehingga ketika datang Ramadhan, dia dapat beribadah secara khusu’ dan tidak berlebihan atau ngoyo dalam mencari harta atau kegiatan lain yang mengganggu kekhusu’an ibadah Ramadhan.
Merencanakan Peningkatan Prestasi Ibadah (Syahrul Ibadah)
Ibadah Ramadhan dari tahun ke tahun harus meningkat. Tahun depan harus lebih baik dari tahun ini, dan tahun ini harus lebih baik dari tahun lalu. Ibadah Ramadhan yang kita lakukan harus dapat merubah dan memberikan output yang positif. Perubahan pribadi, perubahan keluarga, perubahan masyarakat dan perubahan sebuah bangsa. Allah SWT berfirman : « Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri » (QS AR- Ra’du 11). Diantara bentuk-bentuk peningkatan amal Ibadah seorang muslim di bulan Ramadhan, misalnya; peningkatan, ibadah puasa, peningkatan dalam tilawah Al-Qur’an, hafalan, pemahaman dan pengamalan. Peningkatan dalam aktifitas sosial, seperti: infak, memberi makan kepada tetangga dan fakir-miskin, santunan terhadap anak yatim, beasiswa terhadap siswa yang membutuhkan dan meringankan beban umat Islam. Juga merencanakan untuk mengurangi pola hidup konsumtif dan memantapkan tekad untuk tidak membelanjakan hartanya, kecuali kepada pedagang dan produksi negeri kaum muslimin, kecuali dalam keadaan yang sulit (haraj).
Menjadikan Ramadhan sebagai Syahrut Taubah (Bulan Taubat)
Bulan Ramadhan adalah bulan dimana syetan dibelenggu, hawa nafsu dikendalikan dengan puasa, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka. Sehingga bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat kondusif untuk bertaubat dan memulai hidup baru dengan langkah baru yang lebih Islami. Taubat berarti meninggalkan kemaksiatan, dosa dan kesalahan serta kembali kepada kebenaran. Atau kembalinya hamba kepada Allah SWT, meninggalkan jalan orang yang dimurkai dan jalan orang yang sesat.
Taubat bukan hanya terkait dengan meninggalkan kemaksiatan, tetapi juga terkait dengan pelaksanaan perintah Allah. Orang yang bertaubat masuk kelompok yang beruntung. Allah SWT. berfirman: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS An-Nuur 31).
Oleh karena itu, di bulan bulan Ramadhan orang-orang beriman harus memperbanyak istighfar dan taubah kepada Allah SWT. Mengakui kesalahan dan meminta ma’af kepada sesama manusia yang dizhaliminya serta mengembalikan hak-hak mereka. Taubah dan istighfar menjadi syarat utama untuk mendapat maghfiroh (ampunan), rahmat dan karunia Allah SWT. “Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS Hud 52)
Menjadikan bulan Ramadhan sebagai Syahrut Tarbiyah, Da’wah
Bulan Ramadhan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para da’i dan ulama untuk melakukan da’wah dan tarbiyah. Terus melakukan gerakan reformasi (harakatul ishlah). Membuka pintu-pintu hidayah dan menebar kasih sayang bagi sesama. Meningkatkan kepekaan untuk menolak kezhaliman dan kemaksiatan. Menyebarkan syiar Islam dan meramaikan masjid dengan aktifitas ta’lim, kajian kitab, diskusi, ceramah dll, sampai terwujud perubahan-perubahan yang esensial dan positif dalam berbagai bidang kehidupan. Ramadhan bukan bulan istirahat yang menyebabkan mesin-mesin kebaikan berhenti bekerja, tetapi momentum tahunan terbesar untuk segala jenis kebaikan, sehingga kebaikan itulah yang dominan atas keburukan. Dan dominasi kebaikan bukan hanya dibulan Ramadhan, tetapi juga diluar Ramadhan.
Menjadikan Ramadhan sebagai Syahrul Muhasabah (Bulan Evaluasi)
Dan terakhir, semua ibadah Ramadhan yang telah dilakukan tidak boleh lepas dari muhasabah atau evaluasi. Muhasabah terhadap langkah-langkah yang telah kita perbuat dengan senantiasa menajamkan mata hati (bashirah), sehingga kita tidak menjadi orang/kelompok yang selalu mencari-cari kesalahan orang/kelompok lain tanpa mau bergeser dari perbuatan kita sendiri yang mungkin jelas kesalahannya. Semoga Allah SWT senantiasa menerima shiyam kita dan amal shaleh lainnya dan mudah-mudahan tarhib ini dapat membangkitkan semangat beribadah kita sekalian sehingga membuka peluang bagi terwujudnya Indonesia yang lebih baik, lebih aman, lebih adil dan lebih sejahtera. Dan itu baru akan terwujud jika bangsa ini yang mayoritasnya adalah umat Islam kembali kepada Syariat Allah.


sumber : www.sumintar.com

19 Juli 2011

Istri Memahami Walau Hidup Susah

“Ass wr, wb.. bu, aku ingin pulang minggu depan, aku minta ibu memahami kalau aku sudah tidak tahan lagi wass, wr, wb” demikian bunyi SMS singkat yang mengejutkan dari Ranti, istri dokter Rizal, anaknya bu Joko yang sudah sepuh dan memiliki 8 orang anak. Alhamdulillah bu Joko sudah merasa lega karena hampir semua anaknya sudah hidup sukses. Sukses menurut kacamata manusia sederhana seperti dirinya.
Keempat putrinya sudah menikah dan semua anak lelakinya sudah memiliki pekerjaan walaupun tidak semuanya mapan dan hidup mewah. Namun pekerjaan tetap, dengan kategori sederhana sudah dimiliki oleh putra-putrinya yang dibesarkan dengan susah payah tanpa bantuan siapapun. Bu Joko sendiri yang membesarkan anak-anaknya dalam diam setelah suaminya dipanggil yang maha kuasa 18 tahun lepas.
Ranti adalah anak bungsu yang merupakan anak kesayangan seluruh anggota keluarga. Ranti juga memiliki banyak rizqi yang diberikan Allah berupa kepandaian otak yang menyebabakan Ranti dari sejak SMP, SMA sampai kuliah dibiayai pihak luar baik sekolah maupun intistusi. Bahkan terakhir Ranti mendapatkan beasiswa dari perusahaan farmasi karena salah satu nilai ujian nasionalnya mendapatkan nilai 10, khususnya subject Biologi. Selain itu Ranti juga terbukti mendapatkan nilai sangat baik untuk setiap semesternya sehingga wajar ketika lulus sarjana strata 1, Ranti diberikan tawaran melanjutkan beasiswa ke Jepang.
Namun masalah bermula ketika Ranti dikenalkan oleh kakaknya kepada seorang lelaki yang sederhana dan cerdas serta soleh. Lelaki itu dalam mengambil sertifikasi kedokterannya diminta untuk melakukan pengabdian ke daerah jauh di pedalaman. Lelaki itu meminta untuk mengajak Ranty bersamanya setelah akhirnya mereka menikah. Masalah bermula dimana Ranty yang cerdas merasakan kebosanan yang amat sangat. Tidak ada yang dapat dilakukan sebagai istri sang dokter selain menjalani suasana kehidupan di pedalaman yang membuatnya tidak bisa berbuat lebih. Untuk memasak pun Ranty belum begitu mahir, bila mau masak yang agak susah dan rumit, bumbunya juga tidak tersedia lengkap, selain jadi mahal, Ranty juga tidak yakin dengan rasanya.
Sebetulnya suami Ranty kasihan dengan Ranty. Suaminya juga membolehkan Ranty untuk pulang kembali ke rumahnya jika Ranty mau, jadi bertemu cukup sebulan sekali. Namun bu Joko, ibunya Ranti berkeras bahwa Ranty tidak boleh meninggalkan suaminya dalam keadaan apapun, susah senang harus dialami bersama, harus dilalui bersama. Kebosanaan, karena ketidakadaan barang-barang yang dibutuhkan, yang sebenarnya mudah didapat bila Ranty tinggal di tengah kota, menurut bu Joko harus ditahan Ranty. Selain itu juga kerinduan pada kawan-kawan yang selama ini mengisi keceriaan hidup Ranty harus dapat dikendalikan oleh Ranty. Istri harus dapat memahami walau dalam keadaan susah sekalipun, memahami bahwa dirinya harus selalu ada disebelah sang suami, memotivasi maupun membantu dalam kondisi apapun.
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). (QS. An-Nuur [24] : 26)
Teringat kisah Khadijah yang mendampingi Rasulullah SAW dan menjadi wanita pertama yang begitu mempercayainya ketika turun wahyu. Maka tak heran bila Rasulullah SAW menjadikan Khadijah r.a. sebagai wanita pertama dalam hatinya. Memang kawan yang menemani dikala susah dan gundah gulana lebih jelas kuaitasnya daripada kawan yang menemani ketika kita sedang bahagia. Ingin melihat pasangan, kawan atau istri yang berkualitas maka lihatlah bagaimana dia ketika sang suami dalam keaadaan susah. Mutiara tidak dapat dipalsukan.

sumber : http://www.eramuslim.com

18 Juli 2011

Ikhwan yang baik agamanya

Oleh Yogie Edi Irawan
Malam itu, ia telah membuat suatu keputusan bersejarah dalam hidupnya. Saya sendiri yang telah menjadi saksi seorang pemuda yang meninggalkan indahnya malam minggu waktu itu, untuk hadir menghabiskan waktunya bersama kami dalam sebuah kumpulan. Ia sadar akan keputusan itu dan tahu bahwa resikonya ia harus berpisah dari kumpulan-kumpulan sebelumnya menuju kumpulan yang lebih baik dan abadi. Kumpulan di mana kami saling melempar senyum dan beruluk salam. Kumpulan dimana kami saling mengajak untuk beriman dan melakukan amal shalih. Kumpulan yang membuat seseorang bermetamorfosis menjadi mukmin yang shalih. Kumpulan dimana mukmin itu harus menjadi kupu-kupu dan mendistribusikan pesona kebaikannya ditengah umat. Kumpulan yang ia pilih itu adalah halaqah Islam.
Malam itu di mushola kecil, tepat tak jauh dibelakangnya berdiri sebuah pusat pembelanjaan termegah di kota Tangerang. Bagi seorang pemuda, malam itu sangatlah menggoda. Malam minggu dengan ritual-ritual jahiliyah modern yang diadakan di pusat perbelanjaan. Ditambah hiruk-pikuk kendaraan di mana muda-mudi yang bukan mahramnya berboncengan sambil berpelukan. Gadis-gadis cantik dengan pakaian balita hilir mudik dipinggir jalan. Tak jarang lewat didepan mushola kecil kami. Tapi itu semua, tak sedikitpun menyurutkan langkah kakinya ke mushola kami. Tak sedikitpun menggoda dirinya untuk bersama kumpulan-kumpulan yang hanya membunuh waktu dan melumuri dirinya dengan maksiat.
Ia duduk bersama kami dalam lingkaran. Mengenalkan dirinya. Dan ia mengutarakan maksud dan tujuannya, “Saya ingin hijrah!”. Itu saja. Pendek, ringkas dan jelas. Kata-kata itu kelak menjadi isyarat bahwa dirinya harus berubah menjadi pribadi yang lebih baik dengan berkomitmen kepada Islam. Dan itu terbukti di hari-hari selanjutnya ia menjadi orang yang selalu hadir tepat waktu dalam kumpulan kami dan tak pernah ia tak hadir tanpa alasan syar’i. Itu menandakan tekadnya yang membaja untuk berubah
Saya masih ingat, ketika ia pertama kali membaca Al-Qur’an. Terbata-bata dan sedikit di eja. Tapi tak sedikitpun melumpuhkan tekadnya untuk terus belajar. Saya juga masih ingat kalau ia berusaha menahan untuk tidak merokok di hadapan kami karena ia malu melihat kami tak ada yang merokok. Pernah suatu hari ia bercerita bahwa ia memiliki seorang pacar, tapi ia tak berani mengambil keputusan untuk segera menikah atau mengakhiri hubungan haramnya itu.
Dan hari-hari itu terus berjalan. Ia menjadi orang yang pertama. Pertama hadir dalam halaqah. Pertama bergerak dalam setiap agenda-agenda dakwah. Pertama yang meringankan tangannya diantara kami yang mengalami kesusahan. Dan di hari-hari berjalan itu juga ia sudah mulai lancar membaca Al-Qur’an. Bahkan hafalannya pun mulai bertambah. Dan ia juga bercerita, bahwa kebiasaannya berkumpul dengan kami membuat ia terbiasa untuk tidak merokok. Perlahan ia akhirnya berhenti merokok. Dengan bertambahnya ilmu dan iman, tanpa perlu di antara kami menegurnya, ia mengakhiri hubungan haramnya dengan sang pacar.
Hari ini, saat saya menulis tulisan ini, sudah tiga tahun dari malam bersejarah itu, ia sedang berbahagia karena telah menemukan sang kekasih hati. Seorang akhwat shalihah bersanding dengannya di pelaminan. Akhwat yang ia baru kenal satu bulan yang lalu melalui proses ta’aruf (perkenalan) melalui murrabi (pembimbing) kami. Ia telah mengakhiri masa lajangnya. Dan hari ini juga ia meminta kami untuk mengumpulkan anak-anak yatim, dan mengundangnya dihari pernikahannya. Diajaknya makan bersama dan diberi santunan. Subhanallah. Di hari pernikahannya ia masih ingin memberikan suatu yang terbaik untuk dicatat dalam hidupnya.
***
Dalam kehidupan beragama ini, kita mungkin sering bertanya, seperti apakah orang yang baik agamanya itu? Apakah orang yang pengetahuan agamanya cukup banyak? Apakah orang yang bersikap keras dalam beragama? Sehingga mudah dalam mengharamkan sesuatu?
Mungkin kita sering menyaksikan orang yang memiliki pengetahuan agama cukup banyak. Mereka dapat menjelaskan berbagai dalil dengan baik bahkan bisa berdebat dengan fasih, tetapi mereka tidak benar-benar merasakan agama sebagai dorongan dalam bertindak dan penuntun dalam berbuat. Agama tidak memberi inspirasi dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini, agama mirip dengan pengetahuan kita tentang biologi atau kimia, meskipun agama tetap memberi pengaruh bagi kehidupan orang yang mengetahui ilmunya, serendah apapun. Acapkali mereka tidak memiliki kebanggaan terhadap agamanya. Acapkali justru perasaan minder ketika berbicara dengan mendasarkan pada seruan agama. Sebagai akibatnya, agama seakan kehilangan relevansinya dengan kehidupan kita sekarang, meski sebenarnya yang terjadi adalah kita tidak pernah berusaha memahami kehendak agama atas kehidupan kita sehari-hari.
Atau di tempat lain, kita juga tak jarang melihat orang yang sedang mengalami euforia dalam beragama. Mereka sedang semangat-semangatnya menjalankan agama sehingga tak jarang sikap mereka berlebihan. Pada umumnya, ilmu agama mereka masih dangkal. Itu sebabnya mereka sering bertindak sangat reaktif tanpa berusaha untuk tabayyun ‘konfirmasi’ ketika menjumpai perbedaan pendapat untuk soal-soal kecil yang guru-guru mereka paling senior justru menerimanya dengan lapang dada.
Sikap mereka yang reaktif dan tampak semangat, sering kita salah artikan sebagai militansi, padahal euforia yang tidak dikendalikan dengan baik justru rentan terhadap futur (terputus di tengah jalan) sehingga justru merusak militansi. Orang-orang yang mengalami euforia sering tampak lebih bersemangat, lebih gegap gempita, dan lebih keras reaksinya terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diyakini. Sikap yang berlebihan itu justru pada gilirannya menyebabkan mereka mudah kehilangan semangat.
Simaklah beberapa nasehat Rasulullah saw. berikut ini;
“Setiap amal itu ada masa semangat dan masa lemahnya. Barangsiapa yang pada masa lemahnya ia tetap dalam Sunnahku (petunjukku) maka dia telah beruntung. Akan tetapi, barangsiapa yang beralih kepada selain itu berarti ia telah celaka.” (HR. Ahmad)
Rasulullah saw. juga pernah mengingatkan Abdullah bin Amr bin Ash r.a., “Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Sebelum ini, ia rajin bangun pada malam hari (Shalat Tahajjud), namun kemudian ia tinggalkan sama sekali.” (HR. Bukhari)
Lalu seperti apakah orang yang baik agamanya itu? Cerita diawal tadi, tentang seorang sahabat, mungkin bisa jadi contoh orang yang baik agamanya. Cobalah perhatikan Al-Qura’an berbicara tentang mereka;
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS. Ali-Imran [3] : 133-136)
Lihatlah, apakah Qur’an berbicara bahwa mereka yang baik agamanya itu orang yang cukup banyak ilmunya? Atau orang yang pandai berdebat? Atau yang keras dalam beragama dan tidak memudahkan? Padahal Rasulullah saw. memperingatkan kita untuk mempermudah dalam beragama dan bukan mempersulit. Sengaja di ayat itu saya mempertebal beberapa kata, untuk menunjukan ciri-ciri mereka dalam Al-Qur’an.
Mereka bisa jadi telah banyak memiliki ilmu agama atau bisa jadi membaca Al-Qur’an saja sangat kesulitan. Akan tetapi, ada yang mempersamakan mereka, baik yang sudah banyak ilmunya maupun yang awam. Kesadaran bahwa kita sangat lemah dan senantiasa terbuka peluang untuk melakukan kekhilafan membuat mereka mudah menerima tausiyah nasihat dan saran sekalipun dari yang lebih muda. Adakalanya memang mereka masih jauh ilmu agamanya dari memadai, tetapi kesiapan mereka untuk belajar, menerima kebenaran, serta mengubah diri kearah yang lebih baik sesuai batas kesanggupannya, menjadikan mereka mudah disentuh dengan ayat-ayatnya.
Pembicaraan tentang mereka sesungguhnya sangat menari, tetapi saya dapati diri saya masih amat jauh keadaannya dibanding mereka serta sahabat yang saya ceritakan di awal. Tak patut rasanya menuliskan panjang lebar, sementara diri ini masih perlu dipertanyakan. Karenanya, saya cukupkan sampai di sini. Semoga Allah menjadikan kita masuk dalam golongan orang-orang bertakwa, yang baik agamanya. Allahuma amin.
Wallahualam bi shawab.

sumber : http://www.eramuslim.com

16 Juli 2011

Malam Nisfu Sya'ban

Nisfu Sya’ban berarti pertengahan bulan sya’ban. Adapun didalam sejarah kaum muslimin ada yang berpendapat bahwa pada saat itu terjadi pemindahan kiblat kaum muslimin dari baitul maqdis kearah masjidil haram, seperti yang diungkapkan Al Qurthubi didalam menafsirkan firman Allah swt :
سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Artinya : “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". (QS. Al Baqoroh : 142)
Al Qurthubi mengatakan bahwa telah terjadi perbedaan waktu tentang pemindahan kiblat setelah kedatangannya saw ke Madinah. Ada yang mengatakan bahwa pemindahan itu terjadi setelah 16 atau 17 bulan, sebagaimana disebutkan didalam (shahih) Bukhori. Sedangkan Daruquthni meriwayatkan dari al Barro yang mengatakan,”Kami melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw setelah kedatangannya ke Madinah selama 16 bulan menghadap Baitul Maqdis, lalu Allah swt mengetahui keinginan nabi-Nya, maka turunlah firman-Nya,”Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.”. Didalam riwayat ini disebutkan 16 bulan, tanpa ada keraguan tentangnya.
Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin al Musayyib bahwa pemindahan itu terjadi dua bulan sebelum peperangan badar. Ibrahim bin Ishaq mengatakan bahwa itu terjadi di bulan Rajab tahun ke-2 H.
Abu Hatim al Bistiy mengatakan bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Kedatangan Rasul saw ke Madinah adalah pada hari senin, di malam ke 12 dari bulan Rabi’ul Awal. Lalu Allah swt memerintahkannya untuk menghadap ke arah ka’bah pada hari selasa di pertengahan bulan sya’ban. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid I hal 554)
Kemudian apakah Nabi saw melakukan ibadah-ibadah tertentu didalam malam nisfu sya’ban ? terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw banyak melakukan puasa didalam bulan sya’ban, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Aisyah berkata,”Tidaklah aku melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan kecuali bulan Ramadhan. Dan aku menyaksikan bulan yang paling banyak beliau saw berpuasa (selain ramadhan, pen) adalah sya’ban. Beliau saw berpuasa (selama) bulan sya’ban kecuali hanya sedikit (hari saja yang beliau tidak berpuasa, pen).”
Adapun shalat malam maka sessungguhnya Rasulullah saw banyak melakukannya  pada setiap bulan. Shalat malamnya pada pertengahan bulan sama dengan shalat malamnya pada malam-malam lainnya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah didalam Sunannya dengan sanad yang lemah,”Apabila malam nisfu sya’ban maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.
Sesungguhnya Allah swt turun hingga langit dunia pada saat tenggelam matahari dan mengatakan,”Ketahuilah wahai orang yang memohon ampunan maka Aku telah mengampuninya. Ketahuilah wahai orang yang meminta rezeki Aku berikan rezeki, ketahuilah wahai orang yang sedang terkena musibah maka Aku selamatkan, ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.”
Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan,”Walaupun hadits-hadits itu lemah namun bisa dipakai dalam hal keutamaan amal.” Itu semua dilakukan dengan sendiri-sendiri dan tidak dilakukan secara berjama’ah (bersama-sama).
Al Qasthalani menyebutkan didalam kitabnya “al Mawahib Liddiniyah” juz II hal 259 bahwa para tabi’in dari ahli Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul bersungguh-sungguh dengan ibadah pada malam nisfu sya’ban. Manusia kemudian mengikuti mereka dalam mengagungkan malam itu. Disebutkan pula bahwa yang sampai kepada mereka adalah berita-berita israiliyat. Tatkala hal ini tersebar maka terjadilah perselisihan di masyarakat dan diantara mereka ada yang menerimanya.
Ada juga para ulama yang mengingkari, yaitu para ulama dari Hijaz, seperti Atho’, Ibnu Abi Malikah serta para fuqoha Ahli Madinah sebagaimana dinukil dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ini adalah pendapat para ulama Maliki dan yang lainnya, mereka mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah.
Kemudian al Qasthalani mengatakan bahwa para ulama Syam telah berselisih tentang menghidupkan malam itu kedalam dua pendapat. Pertama : Dianjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah di masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir dan yang lainnya mengenakan pakaian terbaiknya, menggunakan wangi-wangian dan menghidupkan malamnya di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rohawaih. Dia mengatakan bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara berjama’ah tidaklah bid’ah, dinukil dari Harab al Karmaniy didalam kitab Masa’ilnya. Kedua : Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat, berdoa akan tetapi tidak dimakruhkan apabila seseorang melaksanakan shalat sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i seorang imam dan orang faqih dari Ahli Syam.
Tidak diketahui pendapat Imam Ahmad tentang malam nisfu sya’ban ini, terdapat dua riwayat darinya tentang anjuran melakukan shalat pada malam itu. Dua riwayat itu adalah tentang melakukan shalat di dua malam hari raya. Satu riwayat tidak menganjurkan untuk melakukannya dengan berjama’ah. Hal itu dikarenakan tidaklah berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Dan satu riwayat yang menganjurkannya berdasarkan perbuatan Abdurrahman bin Zaid al Aswad dan dia dari kalangan tabi’in.
Demikian pula didalam melakukan shalat dimalam nisfu sya’ban tidaklah sedikit pun berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Perbuatan ini berasal dari sekelompok tabi’in khususnya para fuqaha Ahli Syam. (Fatawa al Azhar juz X hal 31)
Sementara itu al Hafizh ibnu Rajab mengatakan bahwa perkataan ini adalah aneh dan lemah karena segala sesuatu yang tidak berasal dari dalil-dalil syar’i yang menyatakan bahwa hal itu disyariatkan maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menceritakannya didalam agama Allah baik dilakukan sendirian maupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” Juga dalil-dalil lain yang menunjukkan pelarangan bid’ah dan meminta agar waspada terhadapnya.
Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama memakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban, ini adalah pendapat para ulama Hanafi dan Maliki. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul untuk itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya, yaitu ‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.
Sementara itu al Auza’i berpendapat berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan shalat (menghidupkan malam nisfu sya’ban, pen) adalah makruh karena menghidupkan malam itu tidaklah berasal dari Rasul saw dan tidak juga dilakukan oleh seorang pun dari sahabatnya.
Sementara itu Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin ‘Amir serta Ishaq bin Rohawaih menganjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah.”
Dengan demikian diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan berbagai bentuk ibadah seperti shalat, berdzikir maupun berdoa kepada Allah swt yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Adapun apabila hal itu dilakukan dengan brjama’ah maka telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama seperti penjelasan diatas.
Hendaklah ketika seseorang menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan ibadah-ibadah diatas tetap semata-mata karena Allah dan tidak melakukannya dengan cara-cara yang tidak diperintahkan oleh Rasul-Nya saw. Janganlah seseorang melakukan shalat dimalam itu dengan niat panjang umur, bertambah rezeki dan yang lainnya karena hal ini tidak ada dasarnya akan tetapi niatkanlah semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Begitu pula dengan dzikir-dzikir dan doa-doa yang dipanjatkan hendaklah tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih didalam aqidah dan hukum.
Dan hendaklah setiap muslim menyikapi permasalahan ini dengan bijak tanpa harus menentang atau bahkan menyalahkan pendapat yang lainnya karena bagaimanapun permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama meskipun hanya dilakukan oleh para tabi’in.
Wallahu A’lam


sumber : http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/nisfu-sya-ban.htm